Pengacara Perceraian

Jl. Wolter Monginsidi No.73 RT.01 / RW.04 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 12180

Layanan Konsultasi

Untuk berkonsultasi silahkan tekan nomor telpon: (021) 7215-948 atau 0813 1001 1161 atau tekan tombol dibawah ini.

Chat Whatsapp
Telpon

layanan konsultasi via chat & phone: (021) 7215-948 & 0813-1001-1161

Apakah Mengajukan Gugatan Cerai Harus Minta Izin Suami Atau Istri?

Apakah Mengajukan Gugatan Cerai Harus Minta Izin Suami Atau Istri?

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dijelaskan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Namun, tak jarang perkawinan tersebut putus karena perceraian. Hal ini bisa disebabkan karena adanya keributan yang terus menerus, perbedaan prinsip, masalah ekonomi, bahkan terkait persoalan di atas ranjang.

Perceraian merupakan jalan terakhir dalam penyelesaian masalah seputar Perkawinan. Pun sebenarnya perceraian tidaklah dapat dikatakan sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah. Namun terlepas dari hal tersebut, pada dasarnya perceraian dapat dilakukan atau diajukan baik oleh suami maupun oleh isteri di depan Pengadilan yang berwenang dalam mengadili.

Terkait dengan izin mengajukan gugatan, dalam Undang-Undang Perkawinan, tidak mengatur perlunya izin suami atau istri dalam mengajukan perceraian. Adapun peraturan tentang perceraian diatur dalam Pasal 39 dan Pasal 40 UU No. 1 Tahun 1974, yang berbunyi:

Pasal 39

  1. Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
  2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
  3. Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Pasal 40

  1. Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
  2. Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Taahun 1974, dijelaskan lebih lanjut terkait alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk pereeraian adalah :

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya;
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang libel berat setelah perkawinan berlangsung.
  4. Salah satu pihak inelakukan kekeiaman atau penganiayaan berat yang mernbahayakan terhadap pihak yang lain.
  5. Salah satu pihak inelakukan kekeiaman atau penganiayaan berat yang mernbahayakan terhadap pihak yang lain.
  6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.
  7. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau, penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

Selain itu, dalam Pasal 20 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa, Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.

Sehingga mengacu pada peraturan di atas, dapat dikatakan bahwa baik suami atau istri yang hendak mengajukan gugatan cerai tidaklah dipersyaratkan untuk meminta izin kepada suami maupun istri. Baik suami atau istri hanya perlu mengajukan gugatan pada pengadilan yang berwenang mengadili yang pada pokoknya isi gugatan tersebut telah memuat alasan-alasan diajukannya perceraian sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (2) dan Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975.

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dijelaskan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Namun, tak jarang perkawinan tersebut putus karena perceraian. Hal ini bisa disebabkan karena adanya keributan yang terus menerus, perbedaan prinsip, masalah ekonomi, bahkan terkait persoalan di atas ranjang.

Perceraian merupakan jalan terakhir dalam penyelesaian masalah seputar Perkawinan. Pun sebenarnya perceraian tidaklah dapat dikatakan sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah. Namun terlepas dari hal tersebut, pada dasarnya perceraian dapat dilakukan atau diajukan baik oleh suami maupun oleh isteri di depan Pengadilan yang berwenang dalam mengadili.

Terkait dengan izin mengajukan gugatan, dalam Undang-Undang Perkawinan, tidak mengatur perlunya izin suami atau istri dalam mengajukan perceraian. Adapun peraturan tentang perceraian diatur dalam Pasal 39 dan Pasal 40 UU No. 1 Tahun 1974, yang berbunyi:

Pasal 39

  1. Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
  2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
  3. Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Pasal 40

  1. Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
  2. Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Taahun 1974, dijelaskan lebih lanjut terkait alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk pereeraian adalah :

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya;
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang libel berat setelah perkawinan berlangsung.
  4. Salah satu pihak inelakukan kekeiaman atau penganiayaan berat yang mernbahayakan terhadap pihak yang lain.
  5. Salah satu pihak inelakukan kekeiaman atau penganiayaan berat yang mernbahayakan terhadap pihak yang lain.
  6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.
  7. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau, penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

Selain itu, dalam Pasal 20 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa, Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.

Sehingga mengacu pada peraturan di atas, dapat dikatakan bahwa baik suami atau istri yang hendak mengajukan gugatan cerai tidaklah dipersyaratkan untuk meminta izin kepada suami maupun istri. Baik suami atau istri hanya perlu mengajukan gugatan pada pengadilan yang berwenang mengadili yang pada pokoknya isi gugatan tersebut telah memuat alasan-alasan diajukannya perceraian sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (2) dan Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975.

[scorg_shortcode id="3011"]
Developed by: TriHarda

Layanan Konsultasi