Harta bersama adalah harta yang diperoleh bersama suami isteri selama perkawinan berlangsung, misal dalam masyarakat jawa dikenal juga dengan istilah: gono gini, pada masyarakat sunda : guna kaya. Harta bersama dalam masyarakat Aceh dikenal dengan harta seharkat, dalam masyarakat Melayu dikenal dengan harta serikat, dalam masyarakat Madura dikenal juga dengan harta gono gini.
Sedangkan berdasarkan Undang-Undang Perkawinan apabila Pengertian harta bersama disebutkan bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Salah satu pengertian harta gono–gini adalah harta milik bersama suami–istri yang diperoleh oleh mereka berdua selama dalam perkawinan, seperti halnya jika seseorang menghibahkan uang, atau sepeda motor, atau barang lain kepada suami istri, atau harta benda yang dibeli oleh suami isteri dari uang mereka berdua, atau tabungan dari gaji suami dan gaji istri yang dijadikan satu, itu semuanya bisa dikatagorikan harta gono- gini atau harta bersama.
Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 1 huruf (f) dengan tegas menyebutkan: “Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun.”
Ketentuan tentang harta benda dalam Undang-Undang Perkawinan, diatur dalam Pasal 35, bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Demikan pula dalam penguasaan dan perlekatan hak kepemilikan atas 2 (dua) jenis harta dalam perkawinan yang telah jelas dipisahkan oleh Undang- Undang Perkawinan.
Hal tersebut di atas dapat dilihat dalam Pasal 36 Undang-Undang Perkawinan, yang berbunyi:
- Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
- Mengenai harta bawaan masingmasing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37 mengatur bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing. Dalam penjelasan pasal tersebut, ditegaskan bahwa yang dimaksud hukum masing-masing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Oleh karena itu, bagi yang beragama Islam, maka berlaku Kompilasi Hukum Islam.
Namun demikian, apabila merujuk pada Pasal 163 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan bahwa “Semua utang kedua suami isteri itu bersama-sama, yang dibuat selama perkawinan, harus dihitung sebagai kerugian bersama. Apa yang dirampas akibat kejahatan salah seorang dan suami isteri itu, tidak termasuk kerugian bersama itu. “
Dengan merujuk pada ketentuan tersebut barang yang dimiliki selama masa perkawinan meskipun dicicil atau masih merupakan hutang termasuk ke dalam harta bersama untuk kemudian dibagi sebagai gono gini.
Dalam pengertian lain maka hutang bersama selama masa perkawinan haru sditanggung juga oleh suami dan istri yang telah bercerai dengan pengecualian bahwa hutang bersama tersebut bukan suatu hasil kejahatan.