Menurut Pasal 3 PP No. 45 Tahun 1990, Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian, wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari pejabat. Bagi Pegawai Negeri yang berkedudukan sebagai penggugat maupun yang berkedudukan sebagai tergugat, untuk memperoleh izin atau surat keterangan tersebut, maka harus mengajukan permintaan secara tertulis. Dalam surat permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian untuk mendapatkan surat keterangan, harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasarinya.
Memperhatikan subtansi Pasal 3 PP No. 45 Tahun 1990, maka dapat dipahami bahwa permohonan izin untuk bercerai harus diajukan secara tertulis oleh Pegawai Negeri Sipil kepada pejabat. Namun, khusus bagi Pegawai Negeri Sipil yang proses hukum percerainya sudah diperiksa, tetapi belum diputus oleh Pengadilan, baik yang bersangkutan berkedudukan sebagai penggugat maupun tergugat, maka harus memberitahukan adanya gugatan perceraian tersebut kepada Pejabat guna memperoleh surat keterangan dari pejabat yang bersangkutan. Baik pemohonan izin maupun pemberitahuan yang disertai permohonan surat keterangan tersebut, harus dicantumkan secara jelas alasan-alasan hukum bagi Pegawai Negeri Sipil untuk bercerai.
Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 PP No. 45 Tahun 1990 tersebut, diajukan kepada Pejabat melalui saluran hierarki. Ini berati bahwa permohonan izin untuk bercerai yang diajukan kepada pejabat dilaksanakan sesuai proses internal di lingkungan lembaga atau instansi dan memperhatikan pula jenjang jabatan yang ada dalam struktur lembaga atau instansi yang bersangkutan.
Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya, untuk melakukan perceraian, diwajibkan oleh Pasal 5 PP No. 45 Tahun 1990 untuk memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud.
Rasio hukum dari adanya jangka waktu pemberian pertimbangan dan penerusannya oleh atasan kepada pejabat, adalah memberikan kesempatan bagi atasan untuk menelusuri informasi dan meminta klarifikasi atau penjelasan tentang alasan-alasan hukum untuk bercerai dari Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan izin untuk bercerai tersebut. Jika informasi dan penjelasan sudah diperoleh, maka atasan tentu saja memerlukan waktu untuk menguji dan menganalisis pertimbangan apa yang seharusnya diberikan, untuk kemudian dapat diteruskan kepada pejabat bersangkutan.
Pemberian atau penolakan pemberian izin untuk melakukan perceraian, dilakukan oleh pejabat secara tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 bulan terhitung sejak ia mulai menerima permintaan izin tersebut sebagaimana ditentukan secara imperatif dalam Pasal 12 PP No. 45 Tahun 1990.
Kemudian pejabat, berdasarkan Pasal 13 PP No. 45 Tahun 1990, dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada pejabat lain dalam lingkungannya, serendah-rendahnya pejabat eselon IV atau yang dipersamakan dengan itu, untuk memberikan atau menolak pemberian izin tersebut, sepanjang mengenai permintaan izin yang diajukan oleh Pegawai Negeri Sipil golongan II kebawah atau yang dipersamakan dengan itu.
Jadi, berdasarkan “delegasi wewenang” dari pejabat kepada pejabat lainya berkaitan dengan pemberian atau penolakan pemberian izin untuk bercerai yang dimohon oleh Pegawai Negeri Sipil. Secara teori wewenang pemerintah diperoleh melalu 3 cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat Pejabat yang menerima izin permintaan untuk melakukan perceraian sebagaimana dimaksud Pasal 3 PP No. 45 Tahun 1990, diwajibkan oleh Pasal 6 PP No. 45 Tahun 1990 “memperhatikan dengan seksama” alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan izin perceraian dan pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
Apabila alasan-alasan yang dikemukakan dalam permintaan izin perceraian kurang meyakinkan, maka pejabat harus meminta keterangan tambahan dari istri atau suami dari Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan atau dari pihak yang dipandang dapat memberikan keterangan yang meyakinkan. Sebelum mengambil keputusan, pejabat berusaha lebih dahulu “merukunkan kembali” suami isteri yang bersangkutan dengan cara memanggil mereka secara langsung untuk diberi nasihat.
Untuk menjamin kelancaran dan keseragaman dalam pelaksanaan PP No. 45 Tahun 1990 yang merupakan perubahan atas PP No. 10 Tahun 1983, maka diterbitkan Petunjuk Pelaksanaan berdasarkan Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor: 48/SE/1990 Petunjuk Pelaksanaan untuk menyelesaikan masalah perceraian PNS. Selanjutnya, petunjuk pelaksanaan untuk menyelesaikan masalah perceraian Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan tertentu yang akan melakukan perceraian menurut Surat Edaran Kepala BAKN No. 48/SE/1990 tersebut, sebagai berikut
- Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara (saat ini tidak ada lagi lembaga tertinggi negara, Pen-), Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen (saat ini disebut Non-Kementrian, Pen-), Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara (saat tidak ada lagi lembaga tertinggi negara, Pen-), Gubernur Bank Indonesia, Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri, dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 (saat ini disebut Gubernur Provinsi, Pen-), wajib memperoleh izin terlebih dahulu dari Presiden
- Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II (saat ini disebut Bupati/Wali kota, Pen), termasuk Wakil Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dan WaliKota di Daerah Khusus Ibukota Jakarta serta Walikpta Administratif (saat ini tidak ada lagi Walikota Administratif, Pen-), wajib memperoleh izin dari Menteri dalam Negeri
- Pimpinan/Direksi Bank Milik Negara dan Badan Usaha Milik Negara, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Presiden.
- Pimpinan/Direksi Bank Milik Daerah dan Badan Usaha Milik Daerah, wajib memperoleh izin terlebih dahulu dari Kepala Daerah Tingkat I dan Kepala Daerah Tingkat II (saat ini disebut Bupati/Walikota/Gubernur Provinsi, Pen-) yang bersangkutan.
- Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara (sat ini tidak ada lagi Lembaga Tertinggi Negara, Pen-), wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Menteri/Pimpinan Instansi Induk yang bersangkutan.
Kepala Desa, Perangkat Desa dan Petugas yang menyelengarakan urusan Pemerintah di desa wajib memperoleh izin dahulu dari Bupati Kepala Daerah Tingkat II (saat ini disebut Bupati Kabupaten, Pen-) yang bersangkutan.