Meskipun perceraian adalah hak asasi, namun demikian berdasarkan PP No. 10 Tahun 1983, apabila ada pegawai negeri yang hendak mengajukan permohonan cerai, adalah harus mendapatkan izin atasan dengan melampirkan alasan-alasan seperti yang sudah diatur diatas, dengan melalui jalur-jalur yang sudah ditentukan, tergantung dari pangkat, golongan ruang serta jabatan pegawai negeri tersebut.
Adapun apabila permohonan cerai itu kurang meyakinkan, maka pimpinan/ atasan PNS tersebut, wajib memanggil istri/ suami, untuk meminta keterangan tambahan.
Permohonan cerai tersebut, harus dibuat rangkap 2 (dua) atau 3 (tiga) bila pegawai Bank Umum milik Negara, dan wajib melampirkan bukti-bukti yang cukup untuk dijadikan alasan untuk bercerai. Sedangkan lamanya masa izin proses perceraian selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung sejak permohonan itu diajukan.
Perceraian dalam Islam
Dalam buku Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI disebutkan bahwa perceraian (talak) terjadi atas:
1. Inisiatif suami, yang terbagi dalam 3 (tiga) kategori, yaitu
a) Talak yaitu hak suami untuk menceraikan isterinya dengan kata-kata tertentu
b) Khulu’, yaitu talak tebus karena isteri memberikan sesuatu benda atau uang, sebagai tebusan pada suaminya agar suaminya menjatuhkan talak padanya, supaya mereka dapat bercerai
c) Ta‟lik talak yaitu talak yang digantungkan pada terjadinya sesuatu yang disebutkan dalam ikrar talak sesuah ijab Kabul dilangsungkan.
2. Inisiatif isteri, yang disebut fasakh. Fasakh adalah bentuk perceraian yang terjadi atas permintaan isteri karena suaminya sakit gila, sakit kusta, sakit sopak atau sakit berbahaya lainnya yang sukar disembuhkan atau karena cacat badan lainnya yang menyebabkan suami tak dapat melaksanakan sebagai suami.
Perceraian Bagi Pernikahan Kristen di Indonesia
Perceraian bagi pernikahan Kristen di Indonesia adalah sah, asalkan perkawinannya memenuhi syarat perkawinan dan perceraiannya memenuhi syarat perceraian yang diatur dalam hukum Nasional yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan berdasarkan Kitab Roma 13:1-7 dikatakan: “Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah Sebab itu barangsiapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya.Sebab jika seorang berbuat baik, ia tidak usah takut kepada pemerintah, hanya jika ia berbuat jahat. Maukah kamu hidup tanpa takut terhadap pemerintah? Perbuatlah apa yang baik dan kamu akan beroleh pujian dari padanya.Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat. Sebab itu perlu kita menaklukkan diri, bukan saja oleh karena kemurkaan Allah, tetapi juga oleh karena suara hati kita. Itulah juga sebabnya maka kamu membayar pajak. Karena mereka yang mengurus hal itu adalah pelayan-pelayan Allah. Bayarlah kepada semua orang apa yang harus kamu bayar: pajak kepada orang yang berhak menerima pajak, cukai kepada orang yang berhak menerima cukai; rasa takut kepada orang yang berhak menerima rasa takut dan hormat kepada orang yang berhak menerima hormat.”
Namun demikian, Gereja Kristen Protestan memang tidak pernah menganjurkan perceraian terjadi karena perceraian merupakan larangan, tetapi ketika perceraian sudah terjadi dan diputuskan oleh pengadilan Gereja Kristen Protestan dapat memahami bahwa perceraian dapat terjadi, tetapi dalam hal ini bukan berarti umat Kristen Protestan sejalan dengan alasan alasan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tetapi Gereja lebih memahami kepada pribadi atau pihak yang bersangkutan, dimana kehidupannya dapat menjadi lebih baik.
Perceraian Bagi Perkawinan Katolik di Indonesia
Sesuai dengan asas perkawinan Katolik maka dalam agama Katolik menolak dan tidak mengenal perceraian. Namun istilah perceraian ini dikenal dengan pemutusan ikatan nikah atau pemutusan ikatan perkawinan demi iman (Privilegi Paulinum).
Kanon 1143 menyebutkan bahwa:
1) Perkawinan yang dilangsungkan oleh orang tak dibaptis, diputuskan berdasarkan privilegi demi iman pihak yang menerima baptis, dengan sendirinya olah kenyataan bahwa ia melangsungkan perkawinan baru, asal pihak tak dibaptis itu pergi.
2) Pihak tak dibaptis dianggap pergi, jika ia tidak mau hidup bersama dengan pihak yang terbaptis atau tidak mau hidup bersama dengan damai tanpa menghina Pencipta, kecuali jika pihak terbaptis itu setelah dibaptis memberi alasan wajar kepada dia untuk pergi
Penggunaan privilegium paulinum bersumber pada 1 Korintus 7 : 12–16, yang menentukan:
“Tapi kalau orang tak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera”.
Privilegi ini disebut privilegi iman, karena bermaksud untuk menguntungkan iman, supaya orang lebih mudah menerima iman, bertobat menjadi Katolik atau dapat tetap memelihara imannya. Hakekat dari privilegi paulinum ini adalah perkawinan sah yang dilakukan antara orang bukan Katolik pada dasarnya tidak dapat diputuskan. Tetapi bila salah satu pihak bertobat dan pihak lain tetap bukan Katolik tidak mau hidup bersama dalam damai atau tanpa menghina Sang Pencipta dalam hal ini yaitu Tuhan Yesus Kristus, Maka pihak yang bertobat, dapat kawin lagi dengan seorang Katolik, dengan demikian maka perkawinan sewaktu bukan Katolik itu diputuskan.
Tujuan dari privilegi paulinum ini, adalah untuk menguntungkan iman. Dengan kata lain, untuk memajukan pertobatan iman Katolik dan tetap bertahan kepadaNya, maka ikatan perkawinan yang terdahulu diputuskan agar lebih mudah mengadakan perkawinan Katolik. Maka dari itu tidak boleh menggunakan privilegi paulinum ini bila hal yang demikian dapat menyebabkan orang lain benci kepada agama Katolik. Syarat-syarat untuk sahnya penggunaan privilegi paulinum dapat dirumuskan secara singkat, adalah:
a) Perkawinan sah antar infideles.
b) Salah satu pihak dipermandikan, sedang pihak lainnya tidak.
c) Pihak yang tidak dipermandikan tidak mau hidup rukun (discessus)
d) Hal itu dapat dibuktikan dengan interpelasi.
Kanon mengatakan bahwa perkawinan yang belum disempurnakan dapat diputuskan dengan dispensasi yang diberikan oleh Sri Paus. Praktek ini telah sejak lama sekali dilaksanakan oleh gereja.
“Dispensasi” di sini dalam arti luas, yaitu ikatan perkawinan itu sendiri langsung diputuskan. Sri Paus memutuskan ikatan nikah itu bukan mengenai hukum yang dibuatnva sendiri, melainkan hukum yang lebih tinggi, maka harus ada alasan yang wajar.
Alasan itu, misalnya:
a) Percekcokan yang tidak mungkin didamaikan.
b) Dikhawatirkan adanya pertentangan dan permusuhan antar keluarga.
c) Dugaan adanya impotensi dengan bahaya tidak dapat bertahan.
d) Cerai sipil dengan bahaya inkontinensi pada pihak yang tidak bersalah.
e) Setengah bisa dibuktikan adanya kurang kesepakatan.
f) Bahaya iman.
Dispensasi tidak diberikan apabila tidak diminta oleh kedua belah pihak atau sekurang-kurangnya oleh salah satu pihak (Kanon 1142). Dispensasi dapat diberikan meskipun salah satu pihak tidak menghendakinya. Perpisahan meja dan ranjang harus hanya merupakan jalan terakhir, yang hanya digunakan dalam keadaan terpaksa. Perpisahan meja dan ranjang karena perbuatan zinah, persyaratannya sebagai berikut:
a) Perzinahan sungguh, yakni hubungan seksual dengan lawan jenis.
b) Perzinahan itu formal, artinya dengan sengaja, tahu dan mau; bukan dibius atau diperkosa.
c) Perzinahan itu dengan hubungan seksual penuh.
d) Secara moril pasti, tidak dituntut bahwa perzinahan itu terbukti secara yuridis.
Kanon 1153, berisi ketentuan perpisahan karena alasan-alasan lain yang bukan zinah sebagai berikut:
1. Jika salah satu pihak menyebabkan bahaya besar bagi jiwa atau badan pihak lainnya atau anaknya, atau membuat hidup bersama terlalu berat, maka ia memberi alasan sah kepada pihak lain untuk berpisah dengan keputusan Ordinaris Wilayah, dan juga atas kewenangan sendiri, kalau berbahaya jika ditunda.
2. Dalam semua kasus itu, bila alasan perpisahan sudah tidak ada lagi, hidup bersama harus dipulihkan, kecuali ditentukan lain oleh kuasa gerejani”
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh Kanon 1153 itu bukan hanya itu saja, melainkan sekedar untuk memberikan contoh. Dapat alasan lain yang serupa. Alasan-alasan yang disebut dalam Kanon itu dapat digolongkan demikian:
a) bahaya iman, murtad.
b) bahaya untuk jiwa, bila jodoh mau menarik partnernya ke dalam dosa.
c) bahaya badan seperti siksaan, penyakit menular.
d) hidup bersama terlalu sulit; pendidikan dibahayakan.
Perceraian Bagi Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Anggota Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)
Bagi anggota Tentara Nasional Indonesia (selanjutnya TNI) diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 23 Tahun 2008 yang sebelumnya diatur dengan Peraturan Panglima TNI No. Perpang/11/VII/2007, sedangkan untuk anggota Kepolisian Republik Indonesia (selanjutnya disingkat POLRI) diatur dalam Pasal 18 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia nomor 9 tahun 2010.
Perbedaan peraturan-peraturan tersebut di atas pada dasarnya hanyalah mengenai limit ataupun tenggang waktu yang diperlukan untuk mengurus izin dari pejabat yang berwenang atasan. Dalam Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1983 pasal 5 ayat (2) yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 45 tahun 1990 pasal 12 limit atau tenggang waktu yang diberikan untuk mengurus izin yang dimaksud disebutkan dengan tegas yaitu 3 bulan, sebaliknya dalam Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 23 Tahun 2008 dan Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/11/VII/2007 tanggal 4 Juli 2007 serta Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia nomor 9 tahun 2010 limit atau tenggang waktu yang dimaksud tidak diatur sama sekali.
Anggota TNI/POLRI untuk mengurus izin atasan/pejabat dimaksud paling lama 6 (enam bulan). Pertimbangan waktu 6 (enam) bulan tersebut pada prinsipnya bukan karena berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No.5 Tahun 1984 karena SEMA tersebut untuk Pegawai Negeri Sipil, akan tetapi karena pertimbangan asas kepatutan dimana jika Penggugat atau Pemohon yang notabenenya Anggota TNI/POLRI beritikat baik untuk menghormati institusinya, maka waktu 6 (enam) bulan tersebut tentu akan cukup untuk kepengurusan izin yang dimaksud. Akan tetapi sebaliknya jika anggota TNI/POLRI termasuk juga Pegawai Negeri tersebut tidak memiliki sikap hormat atau tidak berkeinginan untuk menghargai aturan institusinya maka meskipun waktu yang diberikan sepuluh kali lipat dari 6 bulan tersebut di atas tentulah tidak akan cukup, apalagi bila dari awal persidangan yang bersangkutan sudah mengatakan tidak akan mengurus surat izin tersebut serta menyatakan sanggup menanggung segala resikonya.
Sebelumnya pada tahun 2006 Institusi TNI juga telah mengeluarkan BUKU PETUNJUK TEKNIS tentang NIKAH TALAK CERAI DAN RUJUK (Diberlakukan dengan Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Darat nomor Skep /491/XII/2006 tanpa tanggal dan bulan tahun 2006) yang dalam Bab IV telah mengatur tentang HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN antara lain sebagai berikut :
a) Pejabat Agama. Dalam hal ................................................. Kabintal Korem.
b) Gugatan perceraian yang tidak melalui Prosedur Kedinasan. Dalam hal isteri atau suami yang bukan Anggota TNI mengajukan gugatan perceraian langsung ke Pengadilan (tanpa adanya surat izin dari pejabat berwenang), maka satuan yang bersangkutan dapat mengajukan surat keberatan kepada Pengadilan yang bersangkutan terhadap proses pengadilan yang sedang berlangsung atau kepada pengadilan Tata Usaha Negara terhadap putusan Pengadilan yang dijatuhkan.
Adapun dasar yang digunakan pertama adalah Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan Bab X Penutup yang menyatakan bahwa Pengaturan tentang perkawinan dan perceraian khusus bagi Anggota Angkatan Bersenjata diatur lebih lanjut oleh Menhankam/Pangab. Sedangkan yang kedua adalah Surat pernyataan kesanggupan menjadi Isteri/Suami Anggota TNI AD yang dibuat pada saat mengajukan pernikahan dengan menyatakan bersedia mematuhi dan tunduk kepada peraturan pernikahan, perceraian, dan rujuk yang berlaku di Lingkungan TNI AD.
Akibat tenggang waktu untuk mengurus izin perceraian dari atasan/pejabat bagi anggota TNI/POLRI tidak diatur maka Majelis Hakim pada akhirnya cenderung menganggap untuk memutuskan perkara dengan menganalogkan kepada aturan percerai PNS.